Sejarah kota Roma tak
bisa dipisahkan dengan cerita para gladiator nan gagah perkasa di arena
bertarung bernama colosseum, yang menjadi hiburan paling menarik di zaman itu.
Berabad-abad kemudian
stadion sepakbola menjadi semacam penjelmaan colosseum tersebut, dengan tetap
menghadirkan puluhan ribu orang yang datang untuk menyaksikan sebuah hiburan
bernama sepakbola.
Jika dulu ada seorang gladiator terkenal
bernama Maximum dalam film besutan Ridley Scott (2000) diperankan oleh Russell
Crowe, maka kini gladitor-gladiator itu adalah 11 pemain yang ada di lapangan
hijau. Mereka ada di tengah arena dengan "misi" yang kurang lebih
sama: memperjuangkan harga diri, merebut kekuasaan, meraih cinta.
Sepakbola, yang sudah
dianggap sebagai sebuah agama bagi masyarakat Italia, juga tidak bisa
dilepaskan dari kota Roma, yang terdapat dua klub besar di dalamnya: AS Roma
dan Lazio. Dalam hal titel scudetto, Lazio pernah dua kali merengkuhnya (1974,
2000), sedangkan Roma tiga kali (1942, 1983, 2001).
Tentang Roma, adalah
pelatih asal Hongaria, Alfred Schaeffer, yang pertama kali mempersembahkan
gelar Serie A pertama untuk klub berlogo serigala itu. Setelah dia, gelar kedua
diberikan oleh legenda Swedia bernama Nils Liedholm. Di era milenium, Fabio
Capello adalah orang ketiga yang memberikan titel itu di tahun 2001. Dimotori
trio Gabriel Batistuta, Francesco Totti, dan Vincenzo Montella, Stadion
Olimpico dan seisi kota bertabur warna merah marun, merayakan pesta kemenangan
Il Lupi yang sudah lama dinanti-nantikan.
Ironisnya, setelah itu
Roma seakan-akan tenggelam. Selama satu dekade kemudian Italia dikuasai oleh
Juventus, AC Milan, dan Inter Milan. Dinasti Sensi perlahan-lahan redup. Setelah
era Franco Sensi berakhir, dan lalu dilanjutkan oleh anaknya Rosella Sensi,
penurunan aspek bisnis dan juga beberapa gejolak di tubuh tim membuat Roma
menurun pula prestasinya. Jika sampai ada 5 pelatih dalam dua musim (2004-2005)
Capello, Cesare Prandelli, Rudi Voeller, dan Luigi del Neri sebelum membaik di
tangan Luciano Spalletti, tak aneh jika di benak tifosi bermunculan pertanyaan:
ada apa dengan tim kami?
Pasca kepergian keluarga
Sensi, masuklah pebinis Amerika bernama Thomas Richard DiBenedetto di tahun
2011. Sejumlah perubahan besar terjadi di dalam klub termasuk ketika secara
mengejutkan merekrut Luis Enrique sebagai pelatih baru. Di Benedetto juga
menunjuk Walter Sabattini sebagai Director of Football yang baru. Langkah
paling "berani" yang diambil manajemen baru itu adalah menghilangkan
fasilitas VIP Room bagi Il Capitano Francesco Totti di camp latihan Trigoria.
Selama era Sensi, fasilitas istimewa itu tak pernah terjamah oleh siapapun.
Totti tentu saja seorang hero, simbol tim, tapi dia juga seorang pemain, sama
seperti pemain-pemain lain.
Perubahan yang signifikan
itu membuat Totti dan banyak pemain bintang mulai gerah. Sejumlah pemain minta
minta dijual dan akhirnya dilepaslah beberapa pilar penting di musim-musim
sebelumnya seperti Alexander Doni, Philippe Mexes, John Arne Riise, Jeremy
Menez dan Mirko Vucinic. Sebagai gantinya Enrique yang lebih suka bekerja
dengan "anak-anak muda" mengontrak Miralem Pjanic, Bojan Krkic, Jose
Angel, Erik Lamela serta dua pemain senior Maarten Stekelenburg dan Gabriel
Heinze, kala itu yang rencananya akan dikolaborasikan dengan Totti, Simone
Perrotta, Daniel de Rossi, Rodrigue Taddei dan Juan untuk membangun tim yang
kuat.
Apakah reformasi dengan
gelontoran dana hampir 100 juta euro itu berhasil? Ternyata tidak. Menggantikan
Vincenzo Montella, awalnya Enrique direkrut dengan harapan dapat menularkan
kesuksesan Pep Guardiola dan tiki-taka Barcelona-nya. Tapi transformasi itu
tidak semudah yang dibayangkan. Di akhir musim Roma hanya berada di peringkat
ketujuh dan tidak tampil di Eropa. Meski begitu, ada sebuah perubahan dan
budaya baru yang coba diperlihatkan Roma pada publik Italia, yaitu sepakbola
yang lebih moderen.
Di sisi bisnis, keuangan
Roma jauh membaik. Sebuah laporan menyebutkan, di musim 2010/2011 Roma
menempati ranking 15 dalam daftar klub berpenghasilan tertinggi di dunia,
dengan estimasi revenue sekitar 143,5 juta euro. Asal tahu saja, Roma adalah
satu dari tiga klub Italia yang ada di bursa saham Italia selain Lazio dan
Juventus.
Di tahun 2012, pengusaha
Amerika lain, James Pallotta, menggantikan DiBenedetto sebagai presiden klub.
Hanya saja, krisis prestasi masih dialami Roma. Setelah Enrique didepak mereka
mencoba mengulang cerita indah di masa lalu dengan mengontrak lagi allenatore
gaek asal Republik Ceko, Zdenek Zeman. Perjudian itu bernasib tragis. Zeman
dengan gaya kepelatihannya yang kuno tak bertahan lama di kursinya. Tim semakin
terpuruk, sering kalah, banyak kebobolan. Zeman dipecat di tengah musim,
digantikan oleh caretaker Aurelio Andreazzoli. Prestasi Roma di musim itu tak
lebih baik: hanya finis nomor enam dan kembali absen di Eropa.
Memasuki musim 2013/2014,
Pallotta tampaknya sudah mampu beradaptasi dengan iklim persaingan sepakbola di
Italia, belajar dari kegagalan tahun sebelumnya. Manajemen mengambil langkah
mengontrak pelatih baru dan merombak total materi pemain. Pilihan untuk pelatih
jatuh kepada Rudi Garcia, figur asal Perancis berusia 49 tahun yang pernah
membawa Lille menjadi juara Ligue 1 tahun 2011.
Hal pertama yang dilakukan
oleh Garcia di Roma adalah melakukan pendekatan personel. Sejumlah pemain
penting seperti Totti, De Rossi dan Pjanic ia undang secara pribadi untuk
santap malam bersama. Melalui mereka Garcia memberikan keyakinan kepada seluruh
pemain tentang apa saja rencana-rencana yang akan dilakukannya musim ini.
Langkah berikutnya adalah
dengan menjual Marquinhos, Lamela dan Pablo Osvaldo dengan harga yang tinggi ke
PSG, Tottenham Hotspur dan Southampton. Dari tiga orang itu Roma mendapatkan 75
juta euro, sedangkan sebagai penggantinya Garcia berhasil mendatangkan Kevin
Strootman, Mehdi Benatia, Maicon, Adem Ljajic, Morgan De Sanctis dan Gervinho
hanya dengan total sekitar 60 juta euro! Sebuah operasi transfer pemain yang
cerdas dan tepat.
Dalam hal taktik, Garcia
menerapkan gaya kepelatihan baru di Trigoria. Yang paling kentara adalah ia
mengubah skema permainan 4-3-3 dengan tidak mengandalkan peran seorang striker
murni, serta menempatkan De Rossi sebagai gelandang bertahan di depan 4 pemain
belakang. Peran Totti sebagai playmaker juga dilakoni secara bergantian dengan
Pjanic. Hal lain, Garcia memaksimalkan kecepatan serangan balik melalui sayap.
Inilah yang membuat Roma sulit dikalahkan dan sampai giornata 10 bercokol di
puncak klasemen. Yang sensasional adalah, dengan pertandingan tadi malam
(melawan Verona), Roma berhasil memenangi 10 pertandingan berturut-turut, dan
itu melampaui rekor 9 kemenangan beruntun Juventus di musim 2005/2006. Sensasi
itu ditambah dengan catatan fantastis lain, yaitu mencetak 24 gol dan cuma
kebobolan satu kali.
Dengan apa yang sedang
terjadi itu, Romanisti mulai percaya pada Garcia dan mulai kembali memenuhi
Olimpico. Dan tentu saja mereka boleh mulai percaya juga bahwa scudetto keempat
adalah sebuah keniscayaan. Pertanyaan paling mudah sekarang adalah, mampukah
Roma tampil konsisten hingga akhir musim?
Untuk sampai pada
jawabannya tentu butuh waktu karena kompetisi masihlah panjang. Meski demikian,
paling tidak Garcia telah membangkitkan gairah baru pada Roma, termasuk bahwa
Roma juga bukanlah Totti seorang. Sejauh ini harus diakui bahwa transformasi yang
dikomandoi Garcia adalah sebuah kebahagiaan tersendiri buat fans Giallorossi.
Repost dari Tio Nugroho
(Presenter olahraga TV lokal, MC, dan Fans ASR / romanisti)