Sunday, November 3, 2013

Transformasi Giallorossi

Sejarah kota Roma tak bisa dipisahkan dengan cerita para gladiator nan gagah perkasa di arena bertarung bernama colosseum, yang menjadi hiburan paling menarik di zaman itu.

Berabad-abad kemudian stadion sepakbola menjadi semacam penjelmaan colosseum tersebut, dengan tetap menghadirkan puluhan ribu orang yang datang untuk menyaksikan sebuah hiburan bernama sepakbola.

Jika dulu ada seorang gladiator terkenal bernama Maximum dalam film besutan Ridley Scott (2000) diperankan oleh Russell Crowe, maka kini gladitor-gladiator itu adalah 11 pemain yang ada di lapangan hijau. Mereka ada di tengah arena dengan "misi" yang kurang lebih sama: memperjuangkan harga diri, merebut kekuasaan, meraih cinta.

Sepakbola, yang sudah dianggap sebagai sebuah agama bagi masyarakat Italia, juga tidak bisa dilepaskan dari kota Roma, yang terdapat dua klub besar di dalamnya: AS Roma dan Lazio. Dalam hal titel scudetto, Lazio pernah dua kali merengkuhnya (1974, 2000), sedangkan Roma tiga kali (1942, 1983, 2001).

Tentang Roma, adalah pelatih asal Hongaria, Alfred Schaeffer, yang pertama kali mempersembahkan gelar Serie A pertama untuk klub berlogo serigala itu. Setelah dia, gelar kedua diberikan oleh legenda Swedia bernama Nils Liedholm. Di era milenium, Fabio Capello adalah orang ketiga yang memberikan titel itu di tahun 2001. Dimotori trio Gabriel Batistuta, Francesco Totti, dan Vincenzo Montella, Stadion Olimpico dan seisi kota bertabur warna merah marun, merayakan pesta kemenangan Il Lupi yang sudah lama dinanti-nantikan.

Ironisnya, setelah itu Roma seakan-akan tenggelam. Selama satu dekade kemudian Italia dikuasai oleh Juventus, AC Milan, dan Inter Milan. Dinasti Sensi perlahan-lahan redup. Setelah era Franco Sensi berakhir, dan lalu dilanjutkan oleh anaknya Rosella Sensi, penurunan aspek bisnis dan juga beberapa gejolak di tubuh tim membuat Roma menurun pula prestasinya. Jika sampai ada 5 pelatih dalam dua musim (2004-2005) Capello, Cesare Prandelli, Rudi Voeller, dan Luigi del Neri sebelum membaik di tangan Luciano Spalletti, tak aneh jika di benak tifosi bermunculan pertanyaan: ada apa dengan tim kami?

Pasca kepergian keluarga Sensi, masuklah pebinis Amerika bernama Thomas Richard DiBenedetto di tahun 2011. Sejumlah perubahan besar terjadi di dalam klub termasuk ketika secara mengejutkan merekrut Luis Enrique sebagai pelatih baru. Di Benedetto juga menunjuk Walter Sabattini sebagai Director of Football yang baru. Langkah paling "berani" yang diambil manajemen baru itu adalah menghilangkan fasilitas VIP Room bagi Il Capitano Francesco Totti di camp latihan Trigoria. Selama era Sensi, fasilitas istimewa itu tak pernah terjamah oleh siapapun. Totti tentu saja seorang hero, simbol tim, tapi dia juga seorang pemain, sama seperti pemain-pemain lain.

Perubahan yang signifikan itu membuat Totti dan banyak pemain bintang mulai gerah. Sejumlah pemain minta minta dijual dan akhirnya dilepaslah beberapa pilar penting di musim-musim sebelumnya seperti Alexander Doni, Philippe Mexes, John Arne Riise, Jeremy Menez dan Mirko Vucinic. Sebagai gantinya Enrique yang lebih suka bekerja dengan "anak-anak muda" mengontrak Miralem Pjanic, Bojan Krkic, Jose Angel, Erik Lamela serta dua pemain senior Maarten Stekelenburg dan Gabriel Heinze, kala itu yang rencananya akan dikolaborasikan dengan Totti, Simone Perrotta, Daniel de Rossi, Rodrigue Taddei dan Juan untuk membangun tim yang kuat.

Apakah reformasi dengan gelontoran dana hampir 100 juta euro itu berhasil? Ternyata tidak. Menggantikan Vincenzo Montella, awalnya Enrique direkrut dengan harapan dapat menularkan kesuksesan Pep Guardiola dan tiki-taka Barcelona-nya. Tapi transformasi itu tidak semudah yang dibayangkan. Di akhir musim Roma hanya berada di peringkat ketujuh dan tidak tampil di Eropa. Meski begitu, ada sebuah perubahan dan budaya baru yang coba diperlihatkan Roma pada publik Italia, yaitu sepakbola yang lebih moderen.

Di sisi bisnis, keuangan Roma jauh membaik. Sebuah laporan menyebutkan, di musim 2010/2011 Roma menempati ranking 15 dalam daftar klub berpenghasilan tertinggi di dunia, dengan estimasi revenue sekitar 143,5 juta euro. Asal tahu saja, Roma adalah satu dari tiga klub Italia yang ada di bursa saham Italia selain Lazio dan Juventus.

Di tahun 2012, pengusaha Amerika lain, James Pallotta, menggantikan DiBenedetto sebagai presiden klub. Hanya saja, krisis prestasi masih dialami Roma. Setelah Enrique didepak mereka mencoba mengulang cerita indah di masa lalu dengan mengontrak lagi allenatore gaek asal Republik Ceko, Zdenek Zeman. Perjudian itu bernasib tragis. Zeman dengan gaya kepelatihannya yang kuno tak bertahan lama di kursinya. Tim semakin terpuruk, sering kalah, banyak kebobolan. Zeman dipecat di tengah musim, digantikan oleh caretaker Aurelio Andreazzoli. Prestasi Roma di musim itu tak lebih baik: hanya finis nomor enam dan kembali absen di Eropa.

Memasuki musim 2013/2014, Pallotta tampaknya sudah mampu beradaptasi dengan iklim persaingan sepakbola di Italia, belajar dari kegagalan tahun sebelumnya. Manajemen mengambil langkah mengontrak pelatih baru dan merombak total materi pemain. Pilihan untuk pelatih jatuh kepada Rudi Garcia, figur asal Perancis berusia 49 tahun yang pernah membawa Lille menjadi juara Ligue 1 tahun 2011.

Hal pertama yang dilakukan oleh Garcia di Roma adalah melakukan pendekatan personel. Sejumlah pemain penting seperti Totti, De Rossi dan Pjanic ia undang secara pribadi untuk santap malam bersama. Melalui mereka Garcia memberikan keyakinan kepada seluruh pemain tentang apa saja rencana-rencana yang akan dilakukannya musim ini.

Langkah berikutnya adalah dengan menjual Marquinhos, Lamela dan Pablo Osvaldo dengan harga yang tinggi ke PSG, Tottenham Hotspur dan Southampton. Dari tiga orang itu Roma mendapatkan 75 juta euro, sedangkan sebagai penggantinya Garcia berhasil mendatangkan Kevin Strootman, Mehdi Benatia, Maicon, Adem Ljajic, Morgan De Sanctis dan Gervinho hanya dengan total sekitar 60 juta euro! Sebuah operasi transfer pemain yang cerdas dan tepat.

Dalam hal taktik, Garcia menerapkan gaya kepelatihan baru di Trigoria. Yang paling kentara adalah ia mengubah skema permainan 4-3-3 dengan tidak mengandalkan peran seorang striker murni, serta menempatkan De Rossi sebagai gelandang bertahan di depan 4 pemain belakang. Peran Totti sebagai playmaker juga dilakoni secara bergantian dengan Pjanic. Hal lain, Garcia memaksimalkan kecepatan serangan balik melalui sayap. Inilah yang membuat Roma sulit dikalahkan dan sampai giornata 10 bercokol di puncak klasemen. Yang sensasional adalah, dengan pertandingan tadi malam (melawan Verona), Roma berhasil memenangi 10 pertandingan berturut-turut, dan itu melampaui rekor 9 kemenangan beruntun Juventus di musim 2005/2006. Sensasi itu ditambah dengan catatan fantastis lain, yaitu mencetak 24 gol dan cuma kebobolan satu kali.

Dengan apa yang sedang terjadi itu, Romanisti mulai percaya pada Garcia dan mulai kembali memenuhi Olimpico. Dan tentu saja mereka boleh mulai percaya juga bahwa scudetto keempat adalah sebuah keniscayaan. Pertanyaan paling mudah sekarang adalah, mampukah Roma tampil konsisten hingga akhir musim?

Untuk sampai pada jawabannya tentu butuh waktu karena kompetisi masihlah panjang. Meski demikian, paling tidak Garcia telah membangkitkan gairah baru pada Roma, termasuk bahwa Roma juga bukanlah Totti seorang. Sejauh ini harus diakui bahwa transformasi yang dikomandoi Garcia adalah sebuah kebahagiaan tersendiri buat fans Giallorossi.



Repost dari Tio Nugroho (Presenter olahraga TV lokal, MC, dan Fans ASR / romanisti) 

Thursday, October 24, 2013

BANDUNG, I'm in Love...

Tak ada yang menyanggah Bandung adalah kota mode. Itulah mengapa Bandung disebut dengan Paris van Java. Factory Outlet bertebaran di sepanjang Cihampelas. Berbagai jenis pakaian dengan harga murah tapi kualitas yang sama dengan di mall, dipajang di Pasar Baru. Kotanya yang masih sejuk alasan mengapa warga ibukota menghabiskan waktu weekend kesini. Aaaah, ingin rasanya kembali hidup di kota ini. Bercengkerama dengan warga asli sana yang masih menganut dialek Sunda begitu indah. Adat istiadat yang masih dipertahankan menjadikan kota ini menjadikan kota ini selalu menjadi tempat favorit saya bila libur panjang tiba. Pemandangan kota ini dari Dago Atas begitu indahnya bak mangkuk yang terletak di dataran rendah.


Kota ini juga masih mempertahankan budayanya salah satunya melalui alat musik tradisional, yaitu angklung. Ketika weekend, saya meluangkan waktu mengunjungi Saung Angklung Udjo. Sebuah tempat yang asri yang mempertunjukkan kesenian asli Jawa Barat. Pertunjukan ini dapat disaksikan pada pagi hari, siang hari, petang hari (reguler), dan malam hari. Info lebih jelas dapat dilihat di http://www.angklung-udjo.co.id/id/attraction/booking-info/. Tempat ini juga menyediakan workshop dimana program ini memberikan kesempatan kepada para peserta untuk membuat angklung sendiri. Angklung yang telah dibuat dapat dibawa pulang sebagai cenderamata. Sayang saya tidak sempat menikmati pertunjukan sore hari karna akan kembali ke Jakarta. Tetapi suatu kesempatan langka bagi saya melihat bahwa kesenian tradisional itu masih ada dan diperkenalkan ke dunia luar. Amazing!

Demikianlah sedikit cerita yang saya bawa beberapa minggu yang lalu, berharap bisa menggali lebih jauh lagi tentang wisatanya bila kembali. Sebagai penutup, Bandung selalu dihati, selalu dinanti...

Tuesday, September 25, 2012

Siapa yang terbesar di antara kita?

Renungan Misa Gereja Kalvari Lubang Buaya...

Saya ingin mempertegas kembali sebuah prinsip rohani yang pernah saya ungkapkan, bahwa dunia ini mengajarkan kepada kita suatu gerakan naik. Apa-apa kita selalu dipacu untuk naik secara material entah kedudukan, gaji, teknologi, kendaraan, rumah, dan lain-lain. Namun Yesus secara sangat kuat mempertegas bahwa kalau mau mengikuti Dia haruslah mengikuti "Gerakan Turun". Dalam Injil hari ini kembali Yesus mengingatkan para murid-Nya bahwa Ia harus menderita di dunia ini. Ternyata para murid malah sibuk memperbincangkan siapa yang terbesar di antara kita? Sesuatu yang ironis karena mereka sudah ikut Yesus secara intensif, namun mereka tetap tidak mengerti apa yang dikehendaki Sang Guru.
Sadar atau tidak sadar, kita sungguh mirip seperti para murid, merasa sudah dekat dengan Tuhan namun kadangkala kita tidak memahami gerakan yang dituntut oleh-Nya. Kita tetap sibuk dengan gerakan dunia. Bacaan kedua secara gamblang menyatakan: dari mana datangnya sengketa dan pertengkaran di antaramu? Jawabnya adalah karena iri hati dan mementingkan diri sendiri. Banyak kekacauan hidup keluarga, komunitas dan bermasyarakat hancur gara-gara kedua akar dosa ini: iri hati dan mementingkan diri sendiri. Kita kerap menganggap diri kita sebagai yang paling baik sehingga akibatnya kita sibuk mengkritik dan menyatakan orang lain salah. Betapa indahnya hidup ini bila kita lebih berfokus pada " apa sih kekurangan diriku? Dan apa sih kelebihan orang lain yang istimewa? Dengan demikian kita akan berlomba-lomba hidup saling merendahkan hati dan melayani.
Yesus memberi contoh tentang anak-anak. Anak-anak dalam hidup mereka bisa saja bertengkar dan ngambek, namun yang menarik adalah mereka setelah "baikan" akan bermain kembali dengan gembira sepenuh hati. Janganlah mencari siapa yang terbesar, namun mari kita bermain dengan gembira dan tulus hati.
R.D. Yustinus Ardianto